RSS

Membangun pendidikan murah, mudah dan berkualitas

16 Feb

Masyarakat,  pemerhati dan praktisi pendidikan seringkali merekomendasikan perlu  upaya lebih keras untuk membangun dan mengembangkan sistem pendidikan dengan strategi spesifik yang mengacu pada karakteristik wilayah/rayon dan masyarakat.  Tentu saja  membangun sistem pendidikan yang mengacu pada karakteristik wilayah dan masyarakat diperlukan  efesiensi, efektivitas, responsivitas dan kesetaraan akses, dampak, dan penyebaran pelayanan serta keberpihakan kepada warga miskin.  Selain itu perlu upaya terobosan untuk mendorong adanya  transparansi dan partisipasi  dalam perumusan  kebijakan, rencana dan penganggarannya.  Dengan strategi itu maka  sistem pendidikan akan mengarah  pada  pelayanan pendidikan yang semakin murah, mudah, dan berkualitas.

Mengimplementasikan sejumlah rekomendasi bukanlah pekerjaan mudah jika tidak memilah rekomendasi tersebut dalam berbagai tataran kewenangan tugasnya.  Oleh sebab itu rekomendasi sistem pendidikan perlu dijabarkan kedalam berbagai pelaksanaan strategi  pada semua tingkatan,  yaitu  1.  strategi tingkat pemerintah (kebijakan) 2.  strategi tingkat kelembagaan/SKPD/Sekolah  dan 3.  strategi tingkat masyarakat ( implementasi)

Strategi pada tingkat pemerintah didasarkan pada pertimbangan  sampai sejauh mana kehendak politis (political will) Pemerintah berniat untuk melaksanakan sistem pendidikan yang murah, mudah dan berkualitas.  Niat  ini tentu saja harus ditandai dengan berbagai kebijakan legal formal dalam bentuk perda, perwal atau peraturan lain yang bersifat mengikat untuk dilaksanakan oleh semua pihak.

Pemkot Bandung misalnya, sudah mengeluarkan berbagai kebijakan di bidang pendidikan antara lain dengan dikeluarkannya Perda Kota Bandung No. 22/2002 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Kota Bandung.  Perda tersebut  sebenarnya telah menjamin terpenuhinya hampir seluruh rekomendasi, Bahkan secara tegas perda  menyatakan bahwa anggaran untuk  pendidikan ditetapkan sebesar 20% dari total APBD.  Selain itu Perda tersebut menjamin masyarakat miskin untuk dapat menjadi peserta didik setidaknya sampai tingkat SLTP.  Begitu pula niat Pemkot Bandung  terkait sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB)  yang transparan, jujur dan objektf dengan dikeluarkannya Perwal tentang PPDB.

Tentu saja niat saja tidaklah cukup apabila tidak dibarengi dengan alokasi dan/anggaran untuk melaksanakannya. Dalam  dalam konteks  efisiensi, upaya mendorong pendidikan yang  murah, harus pula dilihat seberapa besar  dana yang dialokasikan terutama Bantuan Operasional Sekolah yang bersumber dari dana pusat (BOS) maupun APBD (BOPDA).  Pada tahun anggaran 2010 Kota Bandung memperoleh Dana BOS Rp. 90.858.400.000.  BOPDA  dan dana pendidikan lainnya perlu ditetapkan jumlahnya  sebagai upaya menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat atas pendidikan dasar sesuai program wajib belajar (wajar) 9 tahun, sebagaimana diamanatkan Perda.

Setiap daerah mempunyai nama program yang berbeda, Bandung memilih dana hibah untuk menjamin semua murid dapat sekolah dengan menggunakan nama BAWAKU SISWA.  Seperti yang kita  yakini bahwa  dana  BOS yang dikucurkan pemerintah pusat sejak pertengahan 2005  dapat dipastikan belum benar-benar mencukupi untuk mewujudkan pelayanan pendidikan dasar secara murah apalagi gratis, mudah dan berkualitas.

Dalam kontek mencapai pelayanan pendidikan yang mudah perlu dilihat sampai sejauhmana Pemkot kota Bandung mempunyai program mendekatkan gedung SD dengan SMP. Hal ini perlu untuk menjamin lulusan SD mudah melanjutkan ke SMP tanpa terkendala biaya transportasi yang dianggap mahal.   Apabila konsisten dalam mewujudkan kebijakan wajib belajar  9 tahun tentu saja perlu ada  upaya melalui program SD-SMP dalam satu atap/gedung dengan penyebaran yang merata di setiap kecamatan.  Program ini sebenarnya merupakan amanat kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) yang diberlakukan di semua daerah.

Walaupun beberapa pasal dalam perda No. 22/2002 dan Perwal tentang PPDB masih perlu dikritisi namun dlihat dari aspek kebijakan Pemkot Kota Bandung sudah mempunyai niat  untuk menjadikan sistem pendidikan di Kota Bandung menjadi murah, mudah dan berkualtas.  Selain mengacu pada perda,  pemkot  Bandung harus mengacu pada peraturan yang berlaku, terutama PP 47 dan PP 48 Tahun 2008.  Kota Bandung sendiri sejak tahun 2008 mengintroduksi istilah “pendidikan gratis” dengan tujuan mencegah pemungutan uang dari orang tua miskin di sekolah-sekolah negeri

Strategi pada tingkat kelembagaan masih perlu penataan tidak hanya di tingkat  SKPD/Dinas tetapi juga di tingkat Sekolah, khususnya dalam rangka mewujudkan wajib belajar 9 tahun.  Bukan lagi rahasia jika di Kota Bandung  pelayanan pendidikan masih dianggap terlalu mahal  karena berbagai pungutan yang dikemas dalam bentuk penjualan buku ajar yang seharusnya diberikan secara gratis kepada siswa.  Beberapa kasus ditemukan yang menyangkut pungutan diluar ketentuan antara lain pungutan bagi siswa yang akan mutasi dari satu sekolah ke sekolah lain.  Bahkan hampir seluruh sekolah membentuk “tim sukses”  untuk sekedar menggenjot tingkat kelulusan UN  dengan tambahan biaya yang dibebankan kepada siswa.  Masih banyak yang perlu diperbaiki terkait dengan pungutan di luar ketentuan tersebut.

Selama  ini  Disdik dan sekolah mengklaim keberhasilan program yang diluncurkannya melalui Angka Partisipasi Kasar (APK) atau Angka Partisipasi Murni (APM) atau tingkat/persentase  kelulusan Ujian Nasional yang ternyata sangat bias dalam mengukur  bobot pelayanan pendidikan.  Strategi Penataan di tingkat kelembagaan tersebut seharusnya mengacu pada  sistem penilaian yang selain akuntabel, tapi juga didasarkan pada penilaian masyarakat yang merasakan pelayanan pendidikannya. Sehingga penilaian berbagai aspek pelayanan pendidikan  tidak hanya berdasarkan angka statistik makro tetapi berbasis peristiwa yang lebih objektif.

Penetapan cluster sekolah berdasarkan  passing grade  dan  sekolah Rintisan Sekolah Berbasis Internasional (R/SBI) juga diklaim diknas sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan  ternyata dalam jangka pendek mengakibatkan diskriminasi model baru. Murid yang di cap “tidak pintar” ketika SD/SMP dianggap tidak pantas untuk memperoleh pelayanan pendidikan di sekolah yang lebih berkualitas dijenjang yang lebih tinggi. Begitu pula dengan murid yang “miskin” dianggap  tidak pantas mengenyam pendidikan yang bertaraf Internasional, karena pasti tidak akan mampu membayar pungutan yang jumlahnya jutaan rupiah.  Dalam hal ini tampak jelas bahwa praktek sistem pendidikan di Kota bandung belum menggunakan prinsip kesetaraan (equity) seperti yang diamanatkan perdanya.

Permasalahan di tingkat implementasi ditandai oleh masalah internal masyarakat.  Pada tingkat ini  masih perlu strategi yang membuat masyarakat sadar dan paham bahwa pendidikan murah, mudah dan berkualitas adalah hak yang harus diambil dan kewajiban pemerintah atau sekolah untuk menyediakannya.  Saat ini masyarakat masih menganggap wajar apabila menghendaki layanan pendidikan yang berkualitas identik dengan mengeluarkan biaya layanan yang lebih tinggi.  Upaya  merubah “mind set”  seperti itu  perlu terus dilakukan. Tentu saja pihak sekolah perlu pula menyediakan mekanisme komplain agar kesadaran masyarakat akan haknya dapat diakomodir jika tidak dipenuhi oleh pihak sekolah.  beberapa daerah lain masyarakat malah menuntut  diterbitkan kontrak pelayanan pendidikan (citizen charter) dengan sekolah dimana siswa belajar tanpa ada tambahan biaya. Pada tataran masyarakat inilah strategi advokasi diperlukan agar masyarakat (orang tua dan siswa)  semakin “ngngeuh”  bahwa pendidikan adalah hak dan kewajiban pemerintah untuk menyediakannya secara murah, mudah dan berkualitas.

________________

Belajar Bisnis On-line

TUTORIAL  BISNIS ONLINE...

 
4 Comments

Posted by on February 16, 2011 in Pendidikan

 

Tags: , , ,

4 responses to “Membangun pendidikan murah, mudah dan berkualitas

  1. Aom Kris

    September 10, 2011 at 4:56 pm

    @ Anonimous :
    Banyak orang pintar bilang kurangnya pendidikan-ekonomi-dan juga kesehatan/gizi seperti lingkarang setan. Memutus simpul lingkaran itu bisa saja dari peningkatan ekonominya dulu…dan dia bisa membiayai sekolah (jika ada hasrat). atau mungkin juga ditingkatkan secara berbarengan….dan tentu saja masyarakat miskin perlu didorong dan dan dihela…

     
  2. Anonymous

    September 9, 2011 at 3:37 pm

    saya sadar bukan karena oknum itu tidak beretika. tapi sudah menjadi solusi terakhir, karena masalah utamanya bukanlah pendidikan yang mahal. tapi tingkat kemisikinan yang banyak. yang perlu diperbaiki adalah paradigma . seseorang akan bisa bersekolah dan mendapatkan pendidikan optimal jika faslitas , sarana dan prasarana yang memadai. bukan hanya guru dan sekolah yang gratis. tapi pasti membutuhkan buku, pensil, pulpen, kertas, internet, print , kegiatan eskul,, dan lain-lain. jadi ekonomi keluarganya yang harus ditingkatkan.

     
  3. Yari NK

    April 13, 2011 at 2:58 am

    Lebih tepatnya bukan murah tapi terjangkau. Memang sulit untuk mewujudkan itu, seringkali hukum ekonomi tetap berlaku, barang yang berkualitas cenderung lebih mahal (walau tidak selalu begitu). Tapi bukan berarti tidak mungkin untuk mewujudkan pendidikan yang terjangkau tapi berkualitas asal semua fihak harus siap berkorban sedikit demi membangun SDM negeri ini…

    Dari Kang Aom Kris :
    Yah…itulah jika dunia pendidikan sudah dianggap sebagai sebuah industri dan investasi ideologi

     
  4. Asep Najmudin

    March 8, 2011 at 11:50 am

    Mungkinkah pendidikan berkualitas di satu sisi dan murah atau bahkan gratis di sisi lain. Tidak ada yang gratis masalahnya siapa yang membayar? apalagiyang murah/gratis berkualitas. Perlu tetap dicari pola pembiayaan yang memungkinkan tidak membebani masyarakat dengan tetap pendidikan tidak bisa ditawar harus pada komitmen Kualitas.

    dari Aom Kris :
    Memang tidak ada yang gratis, gaji guru dan fasilitas pendidikan perlu dana. Argumen itulah yang seringkali dipakai pihak sekolah untuk “menjustifikasi” adanya pungutan yang seharusnya tidak perlu. Para penyelenggara dan birokrat bidang pendidikan sering kali sibuk dengan berbagai argumen yang pada umumnya bernuansa “istilah” seperti beasiswa, bidik misi, bawaku, SKTM yang faktanya justru menjadi pembatas bagi masyarakat untuk bersekolah murah/gratis. Namun dari sudut pandang masyarakat istilah gampangnya memang gratis atau paling tidak murah dan berkualitas dan pemerintah berkewajiban menyediakannya

     

Jangan lupa tulis komentar....